ABSTRAK : Bahwa hidup dan kehidupan masyarakat Ponorogo itu sampai
dengan awal tahun 1942 tepatnya pada tanggal 9 Maret 1942. Awal dari kehidupan
masyarakat Ponorogo bermula dari zaman purbakala, zaman wengker dan zaman
berdirinya Kadipaten Ponorogo dan datangnya agama Islam di Ponorogo. Beberapa
orang yang berjasa dalam berdirinya Ponorogo yaitu Raden Katong, Seloaji dan
Kyai Ageng Mirah. Hal itu karena mereka mempunya satu tujuan yang sama untuk
membentuk dalam suatu Kadipaten.
Kata Kunci : Purbakala, Wengker, Islam, Berdiri
Kata zaman berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti lama
sekali sedangkan purba berasal dari bahasa kawi yang berarti kuno. Kemudian
Kala juga dari bahasa kawi yang memiliki arti waktu atau kurun. Jadi zaman
purbakala artinya masa silam yang sudah lama sekali sampai ratusan atau ribuan
tahun yang lalu. Zaman Purbakala atau yang sering disebut dengan zaman
prasejarah. Yaitu zaman sebelum manusia dapat menyusun sejarah.
Pada zaman dahulu sebelum adanya kerajaan Wengker dan
Kabupaten Ponorogo, di daerah sebelah barat dan timur pernah dihuni oleh
manusia. Sebelah timur di kaki gunung Pandan seudah pernah didiami manusia.
Karena disana banyak ditemukan fosil atau tulang manusia yang bentuknya
besar-besar dan disebut sebagai tulang raksasa. Kemudian di sebelah barat yaitu
di sekitar Kecamatan Sampung pernah juga ditemukan fosil hewan dan manusia
kemudian disana juga ditemukan alat-alat pertanian seperti linggis, kapak, dan
alu yang semuanya berasal dari batu. Sehingga pada waktu itu disebut Zaman
Batu.
Jika
dihuni oleh manusia berarti memang benar sebab disana ada bukti-bukti
peninggalannya. Hanya saja belum bisa diketahui dari bangsa apa dan negara
mana. Waktu itu manusia belum bisa baca tulis, karena belum mempunyai huruf
sehingga tidak dapat membuat bukti-bukti tertulis atau prasasti atau
peninggalan sejarah yang tertulis. Keadaan seperti ini disebut zaman prasejarah
dimana zaman sebelum manusia dapat menulis sejarah. Zaman Wengker dahulu di
Ponorogo ini memiliki suatu kerajaan. Kerajaan ini oleh banyak orang disebut
dengan Kerajaan Wengker. Kerajaan Wengker ini ada sekitaran tahun 986-1037 M.
Selanjutnya datangnya agama Islam di Ponorogo dan berdirinya Kadipaten Ponorogo
pada tahun 1486 M. Oleh karena itu sehubungan dengan uraian–uraian diatas maka penulis
mengambil judul tentang “Sejarah Napak Tilas Ponorogo tahun 1037-1486 M”.
Zaman
Hindu Kerajaan Wengker
Sebelumnya dengan runtuhnya kerajaan Medang di Jawa Tengah
banyak rakyantnya yang pindah ke Jawa Timur. Pada tahun 1928 Empu Sendhok yang
merupakan patih dari kerajaan Medhang dia beserta keluarganya pindah ke Jawa
Timur. Tidak sedikit rakyat yang mengikuti jejak Empu Sendhok untuk pindah ke
Jawa Timur.
Di Jawa Timur kemudian mendirikan sebuah kerajaan, kerajaan
itu diberi nama keraajaan Watonmas. Kerajaan Watonmas itu berada disekitar
sungai Brantas antara Malang dan Surabaya. Kemudian Empu Sendhok itu dinobatkan
sebagai raja pertama dengan gelar Sri Isana Wikrama Darrmotungga Dewa, yang
mana menjadi moyang bagi raja-raja di Jawa selama 300 tahun berturut-turut
sampai dengan tiga keturunan. Akan tetapi kerajaan Watonmas itu tidak bertahan
lama karena diserang oleh musuh sehingga kerajaan Watonmas itu runtuh. Kemudian
muncul suatu kerajaan baru yaitu kerajaan Kahuripan. Kerajaan Kahuripan
dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raja Airlangga. Masa pemerintahan Raja
Erlangga antara tahun 1000-1042. Setelah Empu Sendhok, ternyata juga ada
rombongan lain dari Jawa Tengah yang pindah ke Jawa Timur di bawah pimpinan putra
Raja Medhang yang bernama Kettu Wijaya.
Kemudiaan Kettu Wijaya beserta rombongannya berjalan
melewati jalur sebelah selatan hingga di sebelah timur Gunung Lawu kemudian
mereka beristirahat dan menetap disana. Dengan kejadian itu mereka
mendirikan sebuah kerajaan yang bernama kerajaan Wengker. Berdirinya kerajaan
Wengker itu dibuktikan dengan adanya sebuah prasasti yang ditemukan di Sendang
Kanal Madiun. Didalam prasasti tertulis berdirinya kerajaan Wengker pada tahun
986 – 1037 M dengan rajanya yang bergelar Kettu Wijaya.
Nama Wengker merupakan akronim dari “Wewengkon angker” atau
tempat yang angker. Wilayah kerajaan Wengker meliputi sebelah Utara yaitu
Gunung Kendeng sampai Gunung Pandan. Kemudian sebelah timur merupakan Gunung
Wilis ke selatan sampai ke laut selatan. Kemudian sebelah selatan merupakan
wilayah laut selatan dan sebelah barat dari pegunungan mulai laut kidul ke
utara samapai ke Gunung Lawu.
Kemudian didalam buku Hindhu Yavansche Tiyt halaman
134 yang di tulis oleh Proffesor Doktor N.J. Krom menjelaskan bahwa kerajaan
Wengker terletak di desa Setono Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo
(Purwowijoyo, 1990: 13). Kemudian didalam buku Sejarah Indonesia yang
ditulis oleh Dra. Setyawati Sulaiman juga menjelaskan bahwa kerajaan Wengker
itu terletak di dekat desa Setono (Purwowijoyo, 1990:13).
Kemudian berdasar penelitian menyebutkan bahwa kerajaan
Wengker itu, kerajaannya terletak di desa Kadipaten perbatasan berbatasan
dengan desa Setono. Kerajaan Wengker dipimpin oleh seorang raja bernama Raden
Wijaya atau Kettu Wijaya. Kerajaan Wengker itu kerajaan yang kuat, amat
sentosa, rajanya sakti mandraguna dan rakyatnya banyak yang berilmu tinggi dan
senang dalam melakukan dalam tapa brata.
Kerajaan Wengker dikelilingi oleh sungai yang menjadi batas
kota dan sebagai benteng pertahanan. Selain itu juga terdapat tiga benteng
dalam tanah istilahnya Benteng Pendem. Pada tahun 947 M, Empu Sendhok
digantikan anaknya yang bernama Sri Isyanatungga Wijaya yang menikah dengan Sri
Lokapala. Selanjutnya ia digantikan putranya, Sri Makuyhawangsa Wardana. Sri
Makuthawangsa Wardana mempunyai dua orang putri. Salah satu putrinya menikah
dengan Dharmawangsa. Selanjutnya sang menantu itulah yang kemudian memegang
kekuasaan di Medhang. Salah satu putri Makuthawangsa yang bernama Mahendradatta
menikah dengan Udayana dan mempunyai anak bernama Airlangga. Dalam memimpin
Medhang, Dharmawangsa mempunyai ambisi besar memperluas wilayah. Kerajaan
Medhang saat itu diperkirakan di sekitar daerah Maospati Magetan.
Pada tahun 1016, kerajaan Medhang diserang Sriwijaya bersama
sekutunya yaitu Wurawari dan Wengker, sehingga raja Dharmawangsa dan seluruh
pembesar kerajaan tewas. Kemudian peristiwa itu dikenal dengan sebutan “Pralaya”
atau kehancuran. Selain itu beserta sekutunya ingin menghancurkan Medhang.
Sementara keterlibatan Wengker adalah pengaruh ekspansif Medhang yang berusaha
memperluas wilayah dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil dan juga
persaingan dalam bidang ekonomi.
Satu-satunya yang berhasil lolos dari serangan tersebut
adalah Airlangga yang pada saat itu sedang melangsungkan pernikahan dengan
putri Dharmawangsa. Pada wakti itu usia airlangga 16 tahun, beserta Narotama ia
bersembunyi di hutan sekitar daerah Wonogiri. Pada tahun 1019 M, Airlangga
dinobatkan menjadi raja Kahuripan yang terletak di bekas reruntuhan kerajaan
Medhang. Saat itu bekas kerajaan Medhang sepeninggal Dharmawangsa merupakan
wilayah yang kecil karena setelah terjadinya Pralaya, wilayah Medhang menjadi
terpecah-pecah. Airlangga merupakan raja yang tersohor dan berpengaruh besar.
Tahun 1028 M, Airlangga memulai usahanya menyatukan kembali
wilayah Medhang termasuk terhadap kerajaan Wengker. Tahun 1031 Wengker bisa
ditaklukkan. Pada tahun 1035 kerajaan Wengker ternyata bangkit dan kuat lagi.
Airlangga kembali menyerang Wengker dengan kekuatan pasukan yang besar. Pada
tahun 1037 M, Kettu Wijaya mengalami kekalahan, terpaksa meninggalkan harta
benda dan permaisurinya. Kettu Wijaya lari ke desa Topo kemudian pindah ke
Kapang diikuti bebrapa prajuritnya. Karena terus diserang pasukan Airlangga
lari ke Sarosa. Disinlah akhirnya Kettu Wijaya dapat dikalahkan dan ia dibunh
oleh prajuritnya sendiri. Kettu Wijaya hilang beserta jiwa raganya (muksa).
Dengan semikian berakhir riwayat kerajaan Wengker dibawah pimpinan Kettu
Wijaya. Selanjutnya wilayah Wengker menjadi daerah kekuasaan Airlangga.
Berselang sekitar 200 tahun muncul kerajaan baru yaitu
kerajaan Bantarangin. Terletak di desa Sumoroto kurang lebih 12km arah barat
kota Ponorogo yang masih bagian wilayah kerajaan Wengker.
Pada tahun 1078 kerajaan Wengker dipimpin oleh Kelono
Sewandono. Rajanya yang bernama Kelono Sewandono dan patihnya bernama Kelono
Wijaya yang masih saudara kandung. Raja Kelono Sewandono kakaknya memiliki
paras yang tampan sampai dijuluki Tubagus Kelono Sewandono. Sedangkan adiknya
berwajah jelek, keningnya nong nong, mata pendul, bermulut lebar, gigi
besar-besar, pundak benjol dan rambunta gimbal. Meskipun berwajah jelek namun
Kelono Sewandono memiliki kesaktian yang luar, ahli bertapa dan kaya akan
mantra-mantra (Purwowijoyo,1990:14).
Pada suatu malam Kelono Sewandono bermimpi bertemu dengan
putri Kediri yang bernama Dewi Songgolangit. Keesokan harinya beliau mengutus
adiknya yaitu Kelono Wijaya untuk melamar Dewi Songgolangit ke Kediri. Sang
Prabu Kertojoyo raja Kediri mengetahui jika putrinya ketakutan melihat tamunya
yang baru datang, namun akan menolak takut karena raja Bantarangin itu orangnya
sakti mandraguna. Kemudian dia minta persyaratan untuk proses pernikahan nanti
yaitu (Purwowijoyo,1990:15) :
1.
Minta seperangkat gamelan (gong)
yang belum ada di bumi ini dan digunakan untuk mengiringi jalannya temanten
dari Wengker sampai Kediri.
2.
Minta berbagai mcam hewan isi hutan
yang dihalau ke Kediri untuk mengisi kebun binatang
3.
Minta manusia berkepala harimau.
Sesampainya di Bantarangin segera
menyatakan apa saja yang menjadi permintaan Putri Kediri. Kelono Sewandono
murka mendengar apa yang dikatakan adiknya. Permintaan itu tidak wajar, tidak
akan terlaksana, maka kerajaan kediri akan diserang dengan peperangan. Dengan
kesaktian ilmunya seluruh hewan hutan dapat dikumpulkan di alun-alun lalu
merakit alat musik model baru yang terbuat dari bambu dan kayu seperti seruling
(terompet), angklung, ketipung dan gendang. Ketuk, kenong dan kempul juga dari
bambu. Seperangkat alat musik (gamelan) yang terbuat dari bambu semuanya sudah
disiapkan termasuk penabuhnya (pemainnya). Tinggal manusia berkepala harimau
(macan) yang akan diketemukan nanti.
Sesudah semua persyaratan selesai
calon temanten laki-laki yaitu Raja Bantarangin diiring menuju kerajaan Kediri.
Gamelan (musik) dipukul dengan sorak sorai, gembira, gemuruh laksana batu bata
runtuh. Waktu itu Kelono Wijaya tidak boleh ikut karena nanti akan menakuti
Putri Kediri dan dikatakan kakaknya bila ikut memalukan karena jelek rupanya.
Akhirnya mengalah dan menerima untuk menjaga kerajaan.
Ternyata Patih Kediri yang bernama
Singolodro yang juga disebut Barongseta juga menghendaki ingin menyunting Dewi
Songgolangit. Patih Singolodro itu juga sakti mandraguna, dan kondang dapat
berubah menjadi harimau putih karena itu disebut Barongseto. Mendengar
ramai-ramai gemuruh sorak-sorai masuk kota secepat kilat dengan penuh
keberanian menerjang barisan pengiring pengantin. Para pengiring temanten bubar
lari kesana kemari. Hewan yang digiringpun lari tak karuan hanya tinggal
Barongseta berhadapan dengan Kelono Sewandono.
Keduanya lalu perang tanding Kelono
Sewandono naik kuda sambil membawa tombak Singolodro membawa tameng dengan
sebilah pedang. Singolodro terkena tombak Kelono Sewandono seketika berubah
menjadi harimau gembong yang berwarna putih menubrak musuh mengenai leher
bagian belakang terlepas dari kudanya. Bergulung-gulung antara harimau dengan
manusia. Akhirnya Kelono Sewandono jatuh terbanting dicengkram oleh harimau.
Kemudian dicakar, dicengkeram, dikunyah-kunyah, dibangting-banting seperti
kucing makan tikus dibuat permainan oleh Singolodro.
Kelono Wijaya yang menunggu
kerajaan, merasa malu karena kakaknya menghinanya, malu mengakui saudaranya
karena jelek rupa lalu dia pergi dari kerajaan bertapa di gunung Wilis
menggugat para dewa menuntut keadilan minta wajah yang bagus seperti kakaknya.
Kemudian permintaan itu diterima, turunlah Dewa dari kayangan memberi topeng
mas yaitu topeng manusia yang bagus seperti halnya Kelono Seswandono, satunya
berupa pecut atau cambuk yang diberi nama pecut Samandiman. Setelah
Kelono Wijaya sampai di alun-alun Kediri tahu kakaknya dimakan harimau gembong,
lalu didekatinya. Pecut Samandiman diacungkan diatasnya. Tidak tahu asal
usulnya darimana, seketika Singolodro kehabisan tenaga, lemah lunglai tanpa
daya sambil mengaduh.
Kelono Wijaya menolong kakaknya,
dengan mengucap mantra-mantra sambil memegang seluruh tubuhnya, seketika
kekuatan Kelono Sewandono kembali seperti sediakala, luka-luka sudah hilang,
hanya luka bekas cakaran kuku harimau di mukanya yang tidak bisa pulih. Setelah
selesai menolong kakaknya lalu menolong Singolodro. Diraba seluruh tubuhnya
seketika itu berubah menjadi manusia tetapi kepalanya masih kepala harimau. Ini
untuk mencukupi permintaan Dewi Songgolangit yang ketiga. Dengan kesaktian
Kelono Wijaya, hewan-hewan yang tadinya lepas kesana kemari dengan petikan jari
tangan saja sudah datang sendiri, setelah berkumpul terus menghadap Raja
Kediri. Singolodro yang berubah berkepala harimau berada di belakang jadi genaplah
persembahan 3 macam yang menjadi persyaratan Dewi Songgolangit telah dapat
dipenuhi.
Kemudian diketahui jika putri
Songgolangit hilang tidak diketahui kemana arahnya lalu bersama-sama
mencarinya. Sampai disalah satu gunung di sana terdapat gua yang tertutup batu.
Penutup gua itu diketuk dengan jari oleh Singolodro. Batu hancur lebur,
kelihatan Dewi Songgolangit merebahkan tubuhnya dibatu. Kelono Sewandono senang
hatinya, lalu dibujuk di ajak pulang, disanjung akan kecantikannya diajak ke
kerajaan Bantarangin. Karena sepatah katapun Dewi Songgolangit tidak menjawab
Kelono Sewandono marah, karena merasa dihina. Diapun berkata : “Orang idiajak
bicara sepatah katapun kok tidak menjawab hampa diam seperti batu” terbukti
sumpah yang dikatakan Kelono Wijaya, seketika Dewi Songgolangit berubah menjadi
batu, berwujud arca seorang wanita (Purwowijoyo,1990:19).
Kelono Sewandono lalu menyerah, bila
seperti itu memang bukan jodohnya, lalu diputuskan untuk pulang. Karena
pinangannya gagal,akan lewat jalan semula merasa malu maka mencari jalan lain.
Kelono Wijaya ingin Pecut Samandiman pemberian dewa akan dicoba kesaktiannya.
Bermula akan lewat jalan bawah tanah mulai dari gua yang kemudian disebut gua
Selomangleng di gunung Klotok, tanah dicambuk pecut bisa gusur, bisa berlubang
seperti terowongan yang mudah dilewati. Sampai di kerajaan Bantarangin dapat
melihat keluar dengan cara membelah sungai. Tempat pemunculannya merupakan gua
yang yang dinamakan gua Bedali dari kata mbedhah kali (Jawa). Karena
didalam gua itu terdapat sungai yang airnya mengalir. Selanjutnya Raja
Bantarangin karena merasa kecewa akan menikah yang gagal, dia tidak akan
menikah. Sebagai hiburan yang menjadi gantinya lalu ia memelihara anak
laki-laki yang ganteng atau yang biasa disebut dengan gemblakan. Raja
Bantarangin juga dikanal sebagai raja warok pertama. Warok berasal dari WARA
yang memiliki arti pria agung, pria yang diagungkan.
Sesudah peristiwa raja Bantarangin,
mempunyai peninggalan berupa sepetrangkat gamelan (musik) terbuat dari bambu.
Itu diwariskan kepada rakyat lalu diperagakannya. Mencontoh perjalanan rajanya
seperti itu lalu menjadi sebuah kesenian yang dinamakan REYOG
(Purwowijoyo,1990:20).
PENINGGALAN KERAJAAN WENGKER



Wengker
Zaman Majapahit
Dimasa pemerintahan Airlangga, wilayah kerajaan wengker
tidak pernah terjadi peprangan maupun persengketaan, sebaliknya menjadi daerah
yang aman tentram. Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua yaitu Kediri atau
Daha dan Jenggala atau Panjalu. Sepeninggal airlangga terjadi perang saudara antara
kedua kerajaan tersebut. Situasi yang tidak stabil digunakan Wengker menyusun
kekuatan baru sehingga sampai berdirinya Majapahit nama Wengker masih terdengar
jelas bahkan hubungan kedua kerajaan terjalin dengan baik.
Dimasa pemerintahan Majapahit, Wengker dipimpin oleh seorang
raja yang bernama Kudamerta atau Wijayarajasa. Dalam kitab Nagarakartagama
disebutkan “Priya haji sang umunggu Wengker bangun hyang Upandra Nurun
Narpari Wijayarajasanopamana parama-ajnottama”. Bahwa yang membangun
kerajaan Wengker adalah Wijayarajasa sebagai raja pertama. Kemudian dalam kitab
ini juga disebutkan Raden Kudamerta menikah dengan Bhre Dhaha. Raden Kudamerta
berkedudukan di Wengker dengan nama Bhre Parameswara dari Pamotan yang dikenal
dengan nama Sri Wijayarajasa. Yang dimaksud Bhre Dhaha adalah Dewi Maharajasa
adik dari Tribhuwana. Berarti Wijayarajasa adalah menantu Raden Wijaya.
Selain menjadi raja Wengker, Wijayarajasa merupakan tokoh
yang mempunyai peran besar di Majapahit antara lain salah satu dari 8 tokoh
yang diundang pada waktu pengangkatan mahapatih Gajahmada tahun 1364 M,
diangkat menjadi anggota dewan Sapta Prabu, menjadi anggota dewan pertimbangan
agung tahun 1351 M, mengambil tindakan tegas terhadap kesalahan yang dilakukan
Gajahmada atas peristiwa Bubat dan mendapat penghargaan dari Tribhuwana
Tunggadewi.
Putra Wijayarajasa yang bernama Susumma Dewi atau Paduka
Sori menikah dengan Hayam Wuruk pada tahun 1357 M, setelah prabu Hayam Wuruk
gagal menikah dengan putri Pajajaran yang meninggal pada peristiwa Bubad.
Pernikahan itu merupakan pernikahan keluarga karena ibu Susumma Dewi adalah
adik Tribhuwana Tunggadewi yang merupakan ibu Hayam Wuruk. Hayam Wuruk dan
Susumma Dewi merupakan sama-sama cucu Raden Wijaya atau Kertarajasa
Jayawardhana.
Dari pernikahan-pernikahan yang melibatkan dua kerajaan
yaitu kerajaan Majapahit dan kerajaan Wengker. Menurut Dr. N.J. Krom, bahwa untuk
pergi ke Bubad disamakan dengan ke Wengker. Seperti kita ketahui bahwa Perang
Bubad terjadi sebagai akibat pernikahan politik yaitu salah satu cara Majapahit
menaklukkan kerajaan disekitarnya. Walaupun wengker adalah daerah kekuasaan
Majapahit tetapi kekuatan Wengker sangat diperhitungkan Majapahit. Kerajaan
Wengker jarang diungkap keadaannya karena peran Wijayarajasa lebih banyak di
Majapahit dibanding memimpin kerajaannya sendiri. Pusat pemerintahan Wengker
ketika dipimpin Wijayarajasa berada di sekitar Kecamatan Sambit Ponorogo.
Wijayarajasa meninggal pada tahun 1310 Saka dan dimakamkan di Manar dengan nama
Wisnubhawano.
Zaman kepimpinan Wengker dimasa Majapahit berikutnya adalah
Dyah Suryawikrama Girishawardana, ia adalah anak Dyah Kertawijaya. Ia memimpin
Wengker sejak ayahnya masih memimpin pemerintahan Majapahit tahun 1447-1451 M.
Setelah kekosongan kekeuasaan selama tiga tahun ia memimpin Majapahit selama 10
tahun (1456-1466 M). Dalam kitab Pararaton ia bergelar Bhre Hyang Purwawisesa.
Ia meninggal tahun 1466 M dan dimakamkan di Puri. Sampai masa ini nama Wengker
masih disebut dalam sejarah Majapahit.
Zaman Majapahit terakhir yaitu Brawijaya V sampai runtuhnya
kerajaan Majapahit, Wengker masih ada. Tetapi yang berkuasa di kerajaan Wengker
sudah tidak ada. Pemerintahannya hanya tinggal daerah Kademangan. Berada di
sebelah selatan juga disebut Kademangan Wengker, Demangnya bernama Kethut
Suryangalam. Melihat kata Ketut kiranya perubahan dari kata Kettu, nama raja
Wengker pertama yaitu Kettu Wijaya. Dapat disimpulkan Ketut Suryangalam masih
keturunan Kettu Wijaya.
Demang Suryangalam kondang akan kedigdayaannya, sakti
mandraguna, tidak mempan segala senjata. Sampai zaman Wengker berakhirnya,
rakyatnya beragama Hindu. Memuja kepada Syiwa, Brahma dan Budhayang
arca-arcanya semua ada di Ponorogo.
Zaman
Islam Kadipaten Ponorogo
Diakhir kejayaan Majapahit yang mana wilayah Majapahit
terpecah-pecah. Wilayahnya seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Surabaya
memerdekakan diri. Kerajaan Majapahit itu terakhirnya kerajaan Hindu di Tanah
Jawa. Raja yang terakhir Prabu Brawijaya V juga masih ada Brawijaya VI dan VII
tetapi sudah tidak ada kekuasaan sama sekali. Runtuhnya Majapahit pada tahun
1478 oleh Raja Kediri atau Daha yang bernama Ronowijaya Girinda Wardana, lalu
dikalahkan oleh Adipati Bintoro Raden Patah. Pusaka kerajaan dan Pendopo
kerajaan dipindah ke Demak. Raden Katong putra Brawijaya V ikut diboyong ke
Demak. Demak menguasai kota-kota pesisir lain seperti Lasem, Tuban, Gresik dan
Sedayu. Raden Patah diakui sebagai pemimpin kota-kota dagang pesisir dengan
gelar Sultan.
Raden Patah merupakan putra Prabu Majapahit dengan putri
Cina yang pada waktu itu hamil muda kemudian diberikan kepada Arya Damar,
setelah lahir diberi nama Raden Patah. Prabu Majapahit yang mempunyai istri
putri Cina adalah Brawijaya terakhir. Arya Damar menyatakan kepada
permaisurinya bahwa putranya tersebut akan menjadi raja Islam yang pertama di
Jawa. Sebagaimana kita ketahui bahwa kerajaan Islam yang pertama di tanah Jawa
adalah Demak.
Pada saat Raden Patah menginjak kerajaan Hidu Majapahit
telah mulai runtuh yang disebabkan perlawanan kaum bangsawan yang telah
mendirikan kota di pantai utara dan mendapat dukungan Islam. Kesempatan ini
dipergunakan Raden Patah untuk menemui Sunan Ampel atau Raden Rahmad. Raden
Patah mengutarakan beberapa hal mengenai Majapahit yang telah lemah. Raden
Patah tinggal di rumah Raden Rahmad untuk belajar beberapa hal setelah cukup
diberi kedudukan di Bintoro. Bintoro dikembangkan atas dasar Islam. Mendengar
hal tersebut raja Majapahit Prabu Brawijaya mengangkat Raden Patah menjadi
mangkubumi di Bintoro. Berkat dukungan para wali, Bintoro berkembang menjadi
kerajaan Islam pertama sengan nama Demak pada tahun 1403 Saka atau tahun 1481
M, dibawah pimpinan Raden Patah dengan gelar Panembahan Djimbun.
Seiring munculnya Demak Majapahit semakin parah dilanda
krisis, Brawijaya telah direbut oleh Girishawardana yang sebenarnyatidak berhak
atas tahta Majapahit. Pada waktu raja Brawijaya terakhir, telah memberi kekuasaan
kepada Raden Patah yang kelak kemudian berkembang menjadi kerajaan Demak. Hal
yang berbeda dialami putra Brawijaya V lain yang bernama Raden Katong yang
belum mempunyai wilayah kekuasaan. Hingga terdengar berita bahwa sebelah timur
Gunung Lawu ada seorang demang dari Kutu yang tidak mau menghadap ke Majapahit.
Maka Raden Katong disuruh menghadapkan demang tersebut ke Majapahit. Kemudian
Raden Katong di Demak lalu masuk Islam.
Demang Kutu tersebut adalah Ki Ageng Suryangalam atau
terkenal dengan sebutan Kutu. Ia merupakan Punggawa Majapahit yang masih
termasuk kerabat keraton maka oleh Prabu Kertabumi atau Brawijaya V, ia diberi
jabatan Demang. Kademangan Kutu atau Surukubeng wilayahnya adalah bekas
kerajaan Wengker yang mana seiring semakin melemahnya Majapahit. Kyai Ageng
Kutu meneruskan tata cara dan adat kerajaan Wengker dahulu. Para pembantu dan
punggawanya diajarkan beladiri dan berperang serta tapa brata.
Raden Katong datang di Demak. Disertai dengan Seloaji diutus
memeriksa bekas kerajaan Wengker yang ada di sebelah timur Gunung Lawu dan
disebelah barat Gunung Wilis ke selatan sampai laut selatan. Mereka berangkat
berdua, sampai sebelah barat Gunung Wilis bertemu dengan Kyai Ageng Mirah. Kyai
Ageng Mirah itu merupakan putra dari Kyai Ageng Gribig seorang ulama dari
Malang. Kyai Gribig putra dari Wasi Begono. Wasi Begono putra dari Brawijaya V.
Kyai Ageng Mirah niatnya akan menyiarkan agama Islam di Wengker. Tetapi tidak
bisa berlangsung karena penduduk Wengker semua beragama Budha. Mereka kemudian sepakat
berjuang bersama, Raden Katong atas dasar pemerintahan sedangkan Kyai Ageng
Mirah atas dasar penyebearan agama Islam. Mereka selalu koordinasi terhadap apa
yang mereka hadapu dalam perjuangan ini. Kyai Ageng Mirah senang mendapat mitra
Raden Katong karena masih keturunan Majapahit. Masalah Raden Katong adalah Kyai
Ageng Kutu tidak mau menghadap ke Majapahit sedangkan Kyai Ageng Mirah
kesulitan dalam menyebarkan agama Islam. Setelah saling berkenalan dan saling
mengutarakan apa yang menjadi kepentingannya karena sama-sama tujuannya, mereka
bertiga lalu meneruskan perjalanan melakukan pengamatan sampai laut selatan.
Pihak Raden Katong berusaha melakukan pendekatan persuasif
terhadap pihak Ki Ageng Kutu, antara lain dilakukan Kyai Ageng Mirah terhadap Kyai
Ageng Kutu secara dialogis agar Kyai Ageng Kutu bersedia mengahdap ke
Majapahit. Tetapi Kyai Ageng Kutu menolak dengan alasan antara lain kerajaan
Majaphit yang memberi pintu bagi penyebaran agama Islam padahal wilayah Wengker
kebanyakan menganut agama sendiri yaitu Hindu dan Budha. Kyai Ageng Kutu
menganggap penyebaran Islam yang dipimpin Raden Patah justru Majapahit
mengangkatnya menjadi penguasa Demak Bintoro. Kyai Ageng Mirah menjelaskan
bahwa pengangkatan Raden Patah tidak salah karena masih putra Brawijaya V.
Teteapi Kyai Ageng Kutu tetap menganggap hal yang dilakukan Majapahit merupakan
hal yang menyalahi aturan kerajaan sendiri. Akhirnya upaya dialogis yang
dilakukan Kyai Ageng Mirah gagal.
Upaya persuasif dari pihak Raden Katong yang gagal dilaporkan
kepada Prabu Brawijaya V, dan langkah yang dilakukan Brawijaya adalah mengirim
pasukan Majapahit untuk menumpas Kyai Ageng Kutu. Rombongan pasukan tersebut di
pimpin oleh Raden Katong. Pada dasarnya Raden Katong tidak mau bermusuhan
dengan pihak Wengker mengingat jasa Kyai Ageng Kutu terhadap Majapahit begitu
banyak. Tetapi Seloaji memberi nasihat bahwa apa yang dianggap Kyai Ageng Kutu
benar adalah menurut Kyai Ageng Kutu sendiri, sedangkan pihak kerajaan
menganggap hal yang menyalahi peraturan dan Raja pun langsung memerintahkan
untuk menumpas, maka ia menasehati Raden Katong untuk tidak ragu-ragu dalam
bertindak.
Kemudian terjadilah peperangan antara tentara Majapahit yang
dipimpin Raden Katong beserta Kyai Ageng Mirah dan Seloaji serta beberapa tokoh
lain. Jalannya peperangan termasuk didalamnya strategi perang yang dilakukan.
Maka pada tahun 1468 M, Kutu sebagai ibukota Wengker jatuh ke tangan Raden
Katong dan bala tentaranya. Kyai Ageng Kutu bisa dikalahkan tetapi tidak
ditemukan jasadnya atau musnah di bukit yang kemudian disebut dengan Gunung
Bacin. Kyai Honggolono sebagai tangan kanan Kyai Ageng Kutu Tewas dalam
pertempuran ini. Raden Katong sangat terharu melihat kematian Ki Honggolono dan
musnahnya Kyai Ageng Kutu mengingat mereka berdua adalah para perwira yang
berjasa besar kepada Majapahit terutama ketika merebut kembali Wengker yang
sempat dikuasai Kediri. Konsolidasi dalam keluarga Kyai Ageng Kutu juga
dilakukan antara lain menikahi dua putri Kyai Ageng Kutu yaitu Niken Sulastri
dan Niken Gandini, putra pertama Kyai Ageng Kutu yang bernama Surohandoko
menggantikan kedudukan ayahnya di Kademangan Kutu, Suryongalim dijadikan Kepala
Desa di Ngampel, Warok Gunoseco menjadi kepala desa di Siman, Waro Tromejo di
Gunung Loreng Slahung.
Setelah selesai kemudian kembali ke Demak, Kyai Ageng Mirah
ikut sampai Demak. Setelah beberapa bulan di Demak, Raden Katong, Seloaji dan
Kyai Ageng Mirah diutus kembali ke Wengker dengan diberi pangkat. Raden Katong
diangkat menjadi Adipati bergelar Kanjeng Panembahan Batara Katong. Maka diberi
nama Batara, karena Wengker rakyatnya semua beragama Budha
(Purwowijoyo,1990:23).
Terjadinya
Ponorogo
Pada suatu hari, yang kebetulan pada saat malam jumat bulan
purnama, Raden Katong, Seloaji, Kyai Ageng Mirah dan Jayadipo duduk bersama di
oro-oro (tanah gersang dan luas) untuk mengadakan musyawarah. Kemudian Raden
Katong memulai pembicaraan, “Bapa Mirah, saya minta Bapa memikirkan pusat kota
yang akan kita bangun ini, dimana dan bagaimanakah sebaiknya sebaiknya tempat
untuk pendirian pusat kota itu diletakkan?” (Purwowijoyo,1985:39-40).
Kemudian Kyai Mirah menjawab, “Begini Raden, kalau untuk
pusat kota sebaiknya kita pilih yang berbentuk Bathok Mengkureb (tempurung
tengkurap). Itulah tanah dan tempat yang sebaik-baiknya untuk dihuni”
(Purwowijoyo,1985:40).
Kemudian Jayadipo yang lebih mengenal daerah itu menyambung,
“Raden, kalau berkenan dan sudi mendengar pendapat saya, untuk pusat kota Raden
saya silahkan memilih ditengah-tengah tanah yang luas itu. Marilah sekarang
saja kita semua kesana! Saya persilahkan Raden dan semua untuk melihat!
(Purwowijoyo,1985:40).
Empat orang tersebut terheran-heran, semua melihat dengan
sungguh-sungguh arah yang ditunjuk Jayadipo. Seloaji dan Kyai Ageng Mirah tidak
melihat sesuatu apapun yang ada disana, akan tetapi Raden Katong melihat ada
sesuatu di tengah-tengah padang rumput yang luas. Raden Katong melihat benda
berbeda berjumlah tiga buah. Raden Katong bertanya kepada Jayadipo, “Kakang
Jayadipo, saya melihat ada tombak, payung yang sedang terbuka dan satunya lagi
saya kurang begitu jelas. Benda apakah itu kakang? Apakah maksud kakang
menunjukkan benda ini kepada kami?” (Purwowijoyo,1985:40).
Raden diminta untuk menyembah tiga kali. Setelah menyembah
tiga kali barulah Seloaji dan Kyai Ageng Mirah dapat menyaksikan keberadaan
tiga benda tersebut. jayadipo mengatakan bahwa dia dan kakaknya bernama
Jayadrono adalah abdi ari ayahanda yaitu Prabu Brawijaya V. Adapun pusaka itu
ada disini karena kamilah yang membawanya. Dahulu ayahanda bersabda, jika kelak
ada orang yang dapat melihat pusaka ini, itulah tanda kesetiaan Sang Prabu
kepada orang itu maka berikanlah pusaka itu, selain itu Sang Prabu juga
bersabda bahwa dahulu Katong memang diharapkan untuk menjadi raja menggantikan
Sang Prabu. Itulah titah dari Ayahanda dan sekarang radenlah yang mewarisinya.
Payung ini bernama Payung Tunggul Wulung, adapun tombak ini bernama Tombak
Tunggul Naga dan satunya berupa sabuk yang bernama Sabuk Cinde Puspito.
Raden Katong menyembah tiga kali lalu mengambil payung
Tunggu Wulung, Seloaji mengambil tombak Tunggul Naga, sedangkan Kyai Ageng
Mirah mengambil sabuk (ikat pinggang) Cinde Puspita. Setelah ketiga barang itu
diambil, terdengar suara gemuruh tiga kali. Bersamaan dengan itu, tanah
berhamburan ke atas dan jatuh ke kanan kiri. Tanah yang berjatuhan tadi
akhirnya menjadi gundukan tanah sebanyak lima puluh buah. Adapun tempat suara
gemuruh terjadi, muncullah gua dengan lobang menganga. Kelak setelah empat
puluh hari gua tersebut tertutup kembali seperti semula. Oleh Jayadipo gua tadi
diberi nama Gua Sigala-gala. Adapun gundukan tanah tadi diberi nama Gunung
Lima dan Gunung Sepikul dari situlah asal muasal Ponorogo
(Purwowijoyo,1985:41).
Tiga orang disertai empat puluh santri yang sudah bisa
membaca Qur’an dan mengerti maknanya. Diperintah babat di hutan Wengker
membangun desa sampai menjadi kota. Semua kebutuhan dicukupi, berupa alat
pembabat hutan, peralatan pertanian dan perkakas rumah tangga. Hanya waktu itu
keluarga, anak dan istri tidak boleh ikut.
Sampai di sebelah barat Gunung Wilis, sebelah timur Gunung
Lawu disana mereka istirahat. Ketepatan ditempat yang banyak glagahnya
dan tanahnya berbau wangi, disitulah mulai dibabat. Babatan baru itu
tadi dinamakan “Glagahwangi”. Orang yang berjumlah 40 dibagi menjadi
empat kelompok yaitu utara 10, timur 10, selatan 10 dan barat 10 orang kemudian
Raden Katong, Seloaji dan Kyai Ageng Mirah ditengah sebagai pengawas dan
komando (Purwowijoyo, 1990: 23).
Musyawarah berlanjut untuk memberikan nama kota yang akan
didirikan tersebut. setelah mufakat dan kemauan terikat mereka memutuskan kota
bernama Pramanaraga. Pramana artinya perana yaitu menyatunya sumber
cahaya dari matahri, bulan dan bumi yang berpengaruh menyinari kehidupan
manusia yang digelar di alam raya. Ketiga unsur tersebut dinamakan Trimurti,
bertempat dan menyatu dengan badan manusia menjadi mani. Mani laki-laki yang
bercampur perempuan mendapat sabda dari kehendak Yang Maha Kuasa menjelma menjadi
manusia. Jadi Pramana dan raga diumpamakan seperti madu dan manisnya, atau
bunga dan sarinya, umpama api dan nyalanya. Sedangkan pana berarti mengerti
akan segala situasi, mengerti dengan pemahaman yang sesungguhnya.
Setelah dapat tertata, lalu membuat kota dan berdasar
putusan musyawarah nama Kadipaten Barunya PONOROGO. Dari kata Sankrit
(sansekerta) Pramana Raga, disingkat menjadi Ponorogo. Pono artinya sudah
mengerti semuanya, lahir dan batin sedangkan Rogo itu badan maknanya sudah
mengerti pada raganya, bisa menempatkan diri artinya tepo seliro
(Purwowijoyo,1990:23). Jadi Ponorogo berarti manusia yang telah mengetahui,
mengerti kepada dirinya sendiri yaitu manusia yang sudah mengetahui
unggah-ungguh (sopan santun) atau manusia yang sudah mengerti tentang tata
krama (Purwowijoyo,1985:41).
Kemudian esok harinya, sewaktu fajar menyingsing, terdengar
suara riuh rendah bunyi-bunyian, kentongan, bende, lesung, dan alat bunyi yang
lain dipukul bersamaan sebagai pertanda lahirnya kota baru Pramanaraga. Pada hari
Minggu Pon, bulan Besar tahun 1486 M diresmikan sebagai berdirinya kota
Ponorogo, menjadi daerah Kabupaten. Adipatinya disebut Kanjeng Panembahan
Batara Katong, Patihnya Seloaji, dan Penghulu agamanya Kyai Ageng Mirah.
Kemudian berkeliling kota hingga pelosok desa. Disetiap tempat dipasang
pengumuman tentang pendirian kota baru itu. Mulailah Pramanaraga dikenal
masyarakat sebagai kota kadipaten yang baru. Sekarang kota Pramanraga terkenal
dengan sebutan Ponorogo.
Berdirinya kota ini diperingati atau ditulis pada batu
menggunakan Candra Sengkolo Memet. Candra Sengkolo Memet itu berupa
gambar atau bangunan berupa gambar 4 jumlahnya, yaitu urut dari arah ke kanan,
1. Gambar orang semedi (bertapa), 2. Gambar pohon beringin, 3. Gambar garuda
terbang, 4. Gambar Gajah. Pencipta memberi arti orang 1, beringin (kayu) 4,
burung terbang 0, gajah 8 jadi dapat dibaca 1408 dalam hitungan Saka
(Purwowijoyo,1990:24).
Kemudian jangka sepuluh tahun, membuat prasasti lagi di
batu. Tertulis aksara Jawa, angka aksara Jawa 1418 tahun Saka atau 1496 M itu
merupakan peringatan mulai patihnya Demang Suryongalam. Ponorogo sudah tidak
ada keributan lagi. Para Warokan dan Warok yang semula suka mengganggu kepada
para santri sudah tidak mengganggu lagi. Para pemimpin desa, tetua para warok
bersama-sama pergi ke Kadipaten untuk menyerahkan diri dan minta tuntunan hidup
bermasyarakat.
Para pamong praja, mulai demang, palang mantri, para bupati,
prajurit dipenuhi. Pejabat lainnya dicukupi lebih-lebih permasalahan pertanian.
Raden Katong sendiri selalu memberi contoh, mempunyai kebun merica di desa
Mrican dan desa Sahang Ngebel (sahang=merica). Juga beternak hewan seperti
sapi, kerbau dan kuda. Selama 10 tahun kota Ponorogo menjadi aman tentram,
tidak ada curi-mencuri, perampokan atau brandal (Purwowijoyo,1990:24).
Sebelum itu situasi kota tidak aman tenteram, lebih-lebih
usaha perkembangannya agama Islam selalu mendapat rintangan. Nama santri itu
dimana saja terlihat berbeda, sebab busananya serba putih, sarung putih, baju
takwa model cina juga putih. Padahal pakaian penduduk aslinya serba hitam. Jadi
kelihatan mencolok bedanya. Jika ada santri lewat jalan melewati rumah penduduk
asli, untung-untungnya hanya dijuluki, ujarnya : Santri Buki (santri
Busuk”. Celakanya lagi kadang-kadang diejek agar marah. Jika marah lalu
diajak gulat, bila sial ada juga yang meludahi (Purwowijoyo, 1990:24).
Berdasar kenyataan seperti itu Raden Katong dan Kyai Mirah
lalu mengatur atau menyiasati santri, bila keluar dari rumah akan mengajar
mengaji, tidak boleh sendirian, harus ada temannya paling tidak 3 – 5 orang
(Purwowijoyo,1990:24).
Kesimpulan
Dari peristiwa itu dapat kita ketahui mengenai sejarah
perjalanannya kerajaan Wengker hingga berdirinya Ponorogo. Kerajaan Wengker
yang terkenal selama kurang lebih 500 tahun. Walaupun kerajaan Wengker kerajaan
yang kecil tetapi sangat diperhitungkan kekuatannya oleh kerajaan-kerajaan
besar seperti Kahuripan dan Majapahit serta peletak dasar-dasar pemerintahan,
politik, ekonomi, sosial dan budaya dari daerah Ponorogo ini.
Nama Ponorogo bermula dari Pramanaraga kemudian lama kelaman
kata Pramanaraga berubah menjadi Ponorogo. Pono bermakna pandai, mengerti
sedangkan Rogo bermakna badan. Ponorogo berdiri pada tahun 1486 M. Dengan
Adipati bernama Raden Katong, Patihnya Seloaji dan Penghulu (pemuka) agamanya
Kyai Ageng Mirah. Berdirinya Ponorogo ini tidak terlepas dari perjuanga tiga
orang yang sangat berjasa yaitu Raden Katong, Seloaji dan Kyai Ageng Mirah.
Dari usaha mereka agama Islam tersebar luas di daerah Ponorogo meskipun
sebelumnya ada pertentangan-pertentangan dengan adanya Islam. Karena dulunya
semua warga di Wengker ini menganut agama Hindu dan Budha. Kemudian Ponorogo
menjadi kota yang aman tentram, terbebas dari pencuri dan para brandalan.
3 komentar:
(Y)
banjang bener yak.,.,., tapi menambah wawasan
Kalau ceritanya patih rustam adji gmana katanya juga dari wengker
Posting Komentar